Friday, 25 March 2011

Di Balik Musibah Jepang

Dimuat di portal news Online Okezone 22 Maret 2011.
Kolom Suara Mahasiswa Klik di sini untuk membaca versi online

DALAM bidang teknologi, Jepang merupakan negara yang maju. Akan tetapi, di balik semua itu tersimpan rasa takut tersendiri bagi sebagian pendatang yang belum terbiasa dan mengenal betul Negeri Matahari Terbit itu. Bagaimana tidak, tercatat setiap tahunnya kurang lebih ada 1.500 getaran gempa, baik yang berskala kecil maupun besar.
Kekhawatiran akan terjadinya gempa besar nampaknya benar terjadi. Tepatnya pada Jumat (11/3) gempa 8,9 Skala Richter yang disusul tsunami setinggi 10 meter membuat sebelah timur pantai Honshu Jepang porak-poranda. Sampai saat tulisan ini ditulis tercatat sudah ada 11 ribu korban jiwa dengan rincian yang meninggal dunia 3.676 orang, hilang 7.558 orang, dan korban terluka 1.990 orang. Data ini diperoleh dari otoritas Jepang seperti yang dilansir dari kantor berita AFP di Internet.

Tsunami dan gempa di Jepang ini hampir sama dengan yang terjadi di Aceh. Bagaimanapun juga, korban gempa di Jepang tergolong kecil. Angka korban meninggal dunia yang hanya 3.676 orang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan korban tsunami di Aceh atau negara-negara lainnya. Pertanyaannya adalah apa yang membuat Jepang siap tanggap bencana?

Ada beberapa faktor yang membuat negara Jepang begitu siap. Perlu diingat sebelumnya Jepang juga pernah dilanda musibah berupa angin topan pada 1959 yang menewaskan lebih dari 5.000 orang, dan gempa Kobe pada 1995 yang menewaskan 6.400 orang. Dari situ penduduk Jepang mulai berpikir bagaimana caranya mengatasi segala kemungkinan bencana yang setiap saat siap menerjang. Sampai akhirnya melahirkan teknologi canggih pendeteksi gempa dan tsunami.

Beberapa faktor yang dapat ditiru oleh masyarakat Indonesia atas Jepang adalah, pertama, sistem teknologi peringatan tsunami dan gempa yang sangat canggih. Diketahui bersama bahwa satu-satunya teknologi tercanggih untuk penanggulangan gempa dan tsunami saat ini adalah negara Jepang. Alarm yang dipasang di tepi-tepi laut berbunyi dua menit sebelum gempa yang disusul tsunami terjadi. Artinya ada waktu dua menit bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri.

Indonesia juga merupakan negara yang secara geografis memiliki kesamaan dengan Jepang, yakni rawan gempa karena terletak di daerah pertemuan empat lempeng tektonik aktif di bumi. Meski tidak serawan Jepang, namun setidaknya kita juga harus waspada dan sigap bencana. Mengapa sistem alarm peringatan tsunami dan gempa tidak secanggih yang ada di Jepang? Apakah selalu harus ada korban terlebih dahulu baru kemudian pemerintah bertindak? Padahal, sejatinya pemerintahlah yang mempunyai otoritas penuh akan sistem peralatan itu.

Faktor selanjutnya adalah totalitas peran pemerintah dalam sosialisasi penyelamatan diri saat gempa. Di Jepang, simulasi penyelamatan diri dari gempa selalu rutin dilaksanakan. Bahkan menjadi satu paket di pelajaran yang ada di sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas. Pemerintah juga menetapkan aturan tegas tentang tata letak kota yang memang harus memenuhi standarisasi di Jepang. Pembangunan gedung, stasiun, bandara, rumah harus tahan terhadap gempa. Jauh berbeda kondisinya dengan yang ada di Indonesia, katakanlah kalau pun ada proyek pembuatan gedung seharga Rp5 miliar, dalam praktiknya hanya Rp4 miliar, selisih Rp1 miliar dikorupsi. Akibatnya, jika seharusnya bangunan terdiri dari semen dan besi yang kokoh, justru diganti sampah, pasir atau tanah. Bisa dilihat hasil dari reruntuhan musibah yang ada di Indonesia sangat berbeda dengan di Jepang.

Selanjutnya adalah faktor mental orang Jepang. Terlihat saat evakuasi atau bencana berlangsung mereka tampak tenang dan tidak panik. Simulasi penanganan gempa yang sudah diikuti nampak diperagakan langsung dengan baik. Sejumlah keadaan seperti jalan raya tetap mematuhi rambu-rambu lalu-lintas. Sehingga saat operasi penyelamatan atau evakuasi berjalan lancar karena jalanan tidak macet. Sejumlah toko yang rusak dan ditinggal pemiliknya nampak aman tak terlihat penjarahan seperti saat reformasi di Indonesia, seolah paham akan penderitaan satu dengan yang lainnya. Di tempat-tempat pengungsian juga terlihat antrean makanan dan air bersih yang rapih, tidak ada keributan. Seharusnya begitulah bangsa Indonesia, menjadi bangsa yang maju dan dewasa. Semoga.

0 comments:

Social Media

Facebook Twitter Instagram YouTube Google+ e-Mail

Karya Buku





Viva Blog

Komunitas Blogger

Indoblognet
BloggerCrony Community


Komunitas ISB

Blogger Reporter Indonesia

Populer Post

Blog Archive

Labels

Arsip Blog